Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

belajar mengutamakan pengembangan multicerdas berbasis pembiasaan individu yang inovatif, kreatif, ilmiah, edukatif dan religius - ditunggu segala komen, kritik dan sarannya ya...

Sabtu, 29 November 2008

CPNS, Pondok Pesantren dan Optimisme Perubahan

Sepanjang sejarah perkembangan Pondok Pesantren, belum pernah terdengar kabar para ustadz (para kyai beserta jajarannya) yang bercita apalagi berdemo meminta menjadi PNS. PNS? ya itulah tiga huruf ajaib yang saat ini menjadi primadona di kalangan para pencari kerja, sebuah fenomena yang sangat langka dan menarik mengingat betapa besar angka pengangguran, kemiskinan, keterbelakangan di negara dengan biodiversitas terbesar kedua di dunia ini.

Terlepas dari motif para peminat CPNS, apakah karena motif status sosial, dorongan kebutuhan ekonomi, jaminan hari tua bahkan motif yang paling nasionalis "Abdi Negara", tampaknya hingga saat ini PNS seolah menjadi simbol keterjaminan hidup. Di kalangan masyarakat luas, tuntutan untuk menjadi salahsatu anggota korps "Umar Bakri" ini semakin menguat dan menghantui setiap guru/ustadz. Tidak salah memang karena sebagai pendidik profesional pengakuan negara bagi setiap warga yang memenuhi syarat sebagai calon guru negeri menjadi hal yang sangat layak untuk diharapkan.

Pondok Pesantren beserta segala kemandirian yang dimilikinya adalah lembaga pendidikan yang selalu diharapkan menjadi sokoguru, pilar, perintis, penjaga sekaligus benteng terakhir pelestarian moral positif (khususnya pendidikan islam) di masyarakat. De facto, keberadaan pesantren terbukti mampu bertahan sepanjang sejarah keberadaan Indonesia. Dengan sistemnya yang khas, pesantren bahkan mampu berdiri semenjak bangsa ini belum mengalami musibah penjajahan, sebelum Belanda, Jepang dan Sekutu saling berebut, pesantren telah terbukti memiliki sistem yang mapan hingga melahirkan banyak pejuang yang turut membidani terlahirnya Indonesia sebagai negara merdeka. Hingga saat ini, pesantren terus berbenah, perubahan demi perubahan terus dilakukan hingga munculnya sistem baru sebagai produknya seperti kelompok pengajian, surau, salafiyah, tahfizul qur'an, pondok modern dan produk teranyar hasil penggalian nilai pesantren; boarding school.

Berbagai macam perubahan yang dilakukan pesantren ternyata tidak praktis menjadikannya sebagai garda terdepan pendidikan. sepanjang kepemimpinan orde lama hingga orde baru, keberadaan pesantren seolah terpinggirkan dan dibiarkan terstigmatisasi negatif. Kesan bahwa lembaga pendidikan pondok itu kampungan, kumuh, terbelakang, eksklusif, bodoh bahkan stigma terbaru "sarang teroris" adalah kenyataan yang harus diterima sebagai akibat pembiaran dan pembatasan pemerintah yang seolah "lupa kacang akan kulitnya".

Kenyataan ini tentu saja tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Saat ini telah banyak transformasi yang dilakukan pesantren, konsep pondok modern dengan keunggulan dual language (Bahasa Arab dan Inggris) serta pengajaran agama yang utuh sejak awal sudah memperoleh pengakuan dari banyak negara, ribuan alumni tersebar di berbagai Universitas ternama di dunia, keterbukaan pesantren-pun telah dibuktikan dalam bentuk kesediaannya mengajarkan materi umum dengan "mengubah" kurikulum dari sistemnya sendiri ke dalam kurikulum Depdiknas/Depag. Imbalannya Pesantren memperoleh pengakuan "de jure" oleh negara ini sebagai lembaga muadalah "setingkat" SMA yang disematkan ke setiap lembaga pendidikan pesantren yang mengajarkan materi umum dengan kurikulum dan pengajaran adopsi pemerintah.

Elaborasi kurikulum ini terus diperluas hingga tingkatan lembaga, dengan kesadaran penuh akan masuknya "political will" pemerintah, Banyak pesantren yang bersedia menyelenggarakan lembaga pendidikan sekolah (SMA, MA, MTs dan SMP). Hal ini tentu menjadi keuntungan tersendiri, terutama bagi setiap orangtua yang menginginkan anaknya memperoleh pendidikan secara utuh baik dari segi agama maupun dari segi pendidikan umum. Elaborasi ini terbukti melahirkan sebuah sistem yang unik yang hanya dimiliki pondok pesantren muadalah.

Harmonisasi konsep pesantren dengan pendidikan nasional terus berlanjut. Bukan tidak mungkin bahwa suatu hari nanti ketersediaan pemerintah untuk mengakui keberadaan pesantren akan menyentuh tenaga kependidikan di dalamnya. Meskipun demikian, jika mengingat "dosa pemerintah masa lalu" tentu cukup sulit bagi pondok pesantren untuk total terbuka bagi kehadiran para abdi negara. Hal ini sangat beralasan, mengingat bahwa kehadiran para ustadz PNS tentu akan memberikan nuansa yang berbeda baik bagi struktur kepegawaian pemerintah dengan sistem pendidikan nasionalnya, maupun bagi lingkungan pesantren yang "berdiri diatas dan untuk semua golongan" yang telah terbukti mandiri, mapan dan didukung penuh masyarakat luas. Akan tetapi, bersandar dari keberhasilan Pesantren Modern beserta Pemerintah yang berhasil melebur sistem yang unggul dan terbuka, bukan tidak mustahil beberapa waktu kedepan akan lahir kebijakan yang mampu menempatkan para Ustadz sekaligus Abdi Negara untuk mengabdi sebagai tenaga kependidikan profesional di lingkungan Pondok Pesantren sudah barang tentu dengan tidak mengorbankan semangat dan idealisme postitif yang hingga saat ini tetap terjaga dengan baik, semoga!

Tidak ada komentar: